Apakah Belajar Filsafat Bisa Membuat Kita Menjadi Orang Gila?
Ada
yang mengatakan bahwa orang yang belajar tentang filsafat itu bisa jadi gila.
Betapa banyak orang yang punya pikiran bahwa belajar filsafat akan membuat kita
murtad atau bahkan liberal dan atheis. Sebenarnya, bisa jadi pernyataan dan
anggapan itu benar tapi bagi beberapa orang anggapan itu sangat tidak berlaku.
Aku
sendiri, sebagai Muslim, memandang filsafat sebagai renungan hidup. Terkadang
banyak sekali pertanyaan-pertanyaan dasar dalam hidup. Yang kita sendiri bahkan
tidak bisa memikirkan sejauh itu. Seperti pertanyaan, “Dari mana asalnya
Tuhan”, mungkin pertanyaan inilah yang membuat banyak orang berfikir bahwa
Tuhan itu tidak ada. Dan akhirnya memilih menajdi liberal atau atheis karena
dia merasa ilmu filsafat ini sebagai panduan hidupnya. Tapi, bagiku pribadi,
karena aku punya kitab pedoman yaitu Al-Qur’an, aku beriman pada Al-Qur’an.
Allah berfirman bahwa Ia mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Dan aku sangat
percaya dengan segala pikiran, jiwa, dan raga bahwa tidak mungkin dunia ini
tidak memiliki “Tuhan” yang mengatur alam semesta dan menciptakan segala hal di
duia dan akhirat. Ketika ada yang bertanya, dari mana asalnya Tuhan, mungkin
kita tidak akan pernah bisa melogikakannya karena otak kita itu terbatas.
Bayangkan, Albert Einsten saja hanya menggunakan otaknya kurang dari 10%. Dan
sampai saat ini, banyak sekali misteri ilmu pengetahun yang belum terpecahkan
oleh manusia, bahkan ilmuwan terhebat seklaipun. Itu menandakan bahwa banyak
sekali hal yang bersifat metafisik, tidak terlihat (sekarang) namun ada.
Ketika
aku berumur 9 tahun, aku selalu memikirkan hal-hal yang bahkan tidak pernah
dipikirkan orang dewasa kebanyakan. Pertanyaan-pertanyaan “bodoh” yang mungkin
aku lontarkan membuat mereka mengatakan, mengapa aku berfikir hal-hal yang
sangat berat saat usiaku masih sangat muda?
Entah
mengapa dari kecil aku suka bertanya-tanya pada diriku sendiri, bicara pada
diriku sendiri. Siapa aku? Mengapa aku ada di dunia ini? Mengapa namaku Manda?
Mengapa aku punya ayah dan ibu? Mengapa aku bisa hidup? Mengapa aku tidak jadi
kucing tau ikan? Mengapa aku tidak mati saat bayi? Mengapa wajahku seperti ini?
Mengapa aku tinggal di Indonesia? Mengapa aku berbicara Bahasa Indonesia?
Banyak
sekali pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepalaku. Sebenarnya mamaku mungkin
bisa menjawab semua itu dengan sangat mudah. Salah satu jawaban terbaik dari
mama adalah “karena takdir, Man”. Tapi entah mengapa aku merasa mama mungkin
saja mencari jawaban simple untuk menjawab pertanyaan “bodoh” dari anak SD
sepertiku. Tapi aku yakin, ada makna di balik takdir. Aku hanya merasa hidup
tanpa tahu makna hidup yang sesungguhnya, seperti laut tanpa makhluk laut dan
tumbuhan laut,. Dari permukaan terlihat sama. Ya, sama-sama laut. Tapi
sebenarnya laut itu tidak berisi, tidak berarti banyak bagi manusia, bahkan
bagi laut itu sendiri. Ia pasti akan merasa kesepian dan hampa.
Jika
banyak orang yang mengatakan bahwa filsafat bisa membuat kita gila. Sebenarnya
semua itu bisa dilihat dari bagaimana dia memandang filsafat sebagai panduan
hidup, renungan hidup, atau bahkan pegangan hidup.
Honestly,
aku suka filsafat karena filsafat mengajarkanku tentang apa arti hidup. Pertanyaan
“Mengapa” selalu muncul dalam otakku, tapi aku tidak pernah menjadi gila.
Karena filsafat bukan panduan hidupku. Al-Qur’an lah panduan hidupku. Filsafat
mengajakku berfikir lebih dalam tentang hidup tanpa keluar dari ajaran
Al-Qur’an. Dan aku tidak pernah merasa bingung dengan semua itu karena ilmu
filsafat akan menjadi linear dengan Al-Qur’an jika ia fakta bukan hanya
persepsi manusia yang bahkan mungkin setiap tahun bisa berganti (changable).
Entah
mengapa aku sangat menyukai filsafat. Ilmunya mungkin terlihat berat, tapi
sebenranya sangat mudah dicerna jika bahasanya direndahkan levelnya. Hahaha. I
mean, simplify the language to make it understandable. Karena semua orang punya
kesempatan dan peluang yang sama untuk merenungkan arti kehidupan mereka
masing-masing.
Dalam
agamaku sendiri sebenarnya semua telah dijelaskan dengan sejelas-jelasnya
(Al-Qur’an dan Hadits), namun mungkin seseorang memiliki cara pandang berbeda
satu sama lain. Dan mereka membutuhkan cara tersendiri untuk memahami arti
hidup mereka. Yang benar-benar mereka yakini, yang berasal dari jiwa dan hati
mereka. Bukan hanya apa yang telah tertulis dan disebutkan di dalam
kitab/hadits.




wah Manda waaaah
BalasHapus