My Reflective Journal (an update about life)

 It's been a long to write in this platform again. 

And, now, I am a blessed mom with 2.5 year old daughter :)


Waktu memang berlalu begitu cepat. Pertanyaan tentang "mau nikah dulu atau S-2 dulu?" yang sering kutanyakan pada diri sendiri sejak kuliah tampaknya sudah jelas terpampang nyata jawabannya. Karena sudah mendapatkan jodoh bahkan sebelum lulus kuliah, akhirnya aku mantap untuk menikah dulu sebelum (rencananya) melanjutkan pendidikan. 

Setelah menikah, Allah sangat baik karena beberapa saat setelahnya, Dia menitipkan seorang janin kecil di rahimku. Saat ia lahir ke dunia, aku juga terlahir kembali sebagai seorang ibu. Aku sangat bahagia karena aku memang ingin mendapatkan momongan segera dan tidak menunda kehamilan setelah menikah. 

Setelah menyusuinya selama dua tahun, aku berpikir kembali terkait rencana yang sudah aku setting sejak 8 tahun lalu. Aku ingin sekali melanjutkan studi S-2, meskipun kini aku sudah menjadi seorang ibu. Namun tanpa pengalaman profesional yang mentereng seperti kebanyakan wanita karier seusiaku, apakah aku masih punya kesempatan untuk bisa mengenyam S-2 dengan beasiswa? Pertanyaan reflektif ini ternyata baru bisa muncul setelah bertemu dengan malam-malam panjang yang membuatku berani lagi untuk bermimpi. Pemikiran ini tidak serta merta muncul begitu saja, di dalam prosesnya ada pergulatan batin luar biasa yang membuatku menangis, lalu bersemangat, dan seterusnya. 

Ternyata, aku menyadari bahwa aku bukanlah sepenuhnya Imanda yang dulu. Kini aku sudah terlahir menjadi seroang ibu, yang mana secara raga maupun jiwa aku memang sudah menjadi orang yang berbeda. Setiap kali aku berusaha mengusahakannya, aku tahu ada yang harus kukorbankan meski tampak samar. 24/7 yang dulu selalu kupersembahkan untuk anakku, pasti tidak akan sama lagi, dan sebagai seorang ibu, aku takut kehilangan diriku sebagai Imanda maupun sebagai ibu dari Shanum. 

Namun, aku memilih tidak berhenti menyerah. Sudah kuputuskan bahwa aku akan menjadi pejuang. Tangan kecilnya justru mejadi penyemangatku, aku ingin dia bangga dengan tempatku berlabuh. Bukan sebagai ibu yang takut mencoba, tapi ibu yang percaya bahwa berusaha namun gagal akan jauh lebih baik daripada tidak berusaha sama sekali. Aku ingin dia mengingat ini sebagai sebuah simbol perjuanganku sebagai seorang ibu. Terkadang, aku memang menjadi penakut yang lemah, tapi aku lebih takut lagi jika aku berhenti. 

Jika nantinya aku gagal, aku tidak akan pernah merasa kalah. Semua anugerah ini ibarat sesuatu yang gratis yang dipinjamkan kepadaku tanpa harus jadi orang paling hebat sedunia. Aku merasa lebih dari bersyukur untuk menerimanya. Maka, aku akan memaknai semua ini sebagai capaian kebahagiaan sejati karena telah berani. Ya, aku ingin menjadi ibu yang berani. 


Komentar

Postingan Populer