Fake Ownership

Apa yang terlintas di kepalamu ketika ditanya, apa yang kamu miliki di dunia ini? 

Setelah beberapa bulan stay di rumah karena pandemi, akhirnya aku memutuskan untuk stay satu bulan di Jogja untuk mengambil data skripsi yang harus segera kuselesaikan. Nampaknya, tiga-empat hari belakangan ini, aku mendapatkan pelajaran yang sangat berharga tentang hidup. Mungkin terdengar klise dan biasa saja, namun realisasi besar ini jauh lebih terasa karen adanya sense of emergence yang muncul dari diriku. 

Aku pernah berpikir, bahwa aku cukup beruntung karena aku memiliki banyak orang di sekitarku. Orangtuaku, pasanganku, teman baikku, keluarga besarku, dan lain sebagainya. Aku merasa bahwa hidup tidak sesulit itu karena aku memiliki mereka. Mereka adalah milikku, kepunyaanku. Namun, ada satu-dua kejadian yang membuatku berpikir lebih kritis mengenai konsep "kepemilikan" yang aku maksud ketika mendeskripsikan orang-orang di sekitarku itu. 

Apakah aku benar-benar "memiliki" mereka? 

Hidup yang penuh dinamika ini akhirnya mengajarkanku bahwa konsep kepemilikan yang aku buat sangatlah semu. Orang-orang yang paling berharga dalam hidupku bisa datang dan pergi kapan saja. Dan saat itulah aku berpikir secara mendalam bahwa, "konsep ownership itu fake". 

Actually, you never own anything or anyone. Agaknya terlalu berlebihan jika kita berpikir dengan pola pikir seperti ini: seperti hendak menyaingi Tuhan. 

Aku sadar bahwa yang aku miliki di dunia ini hanyalah Allah. Allah sudah pasti memilikiku, namun bukankah wajar jika seorang ciptaan juga menyebut penciptanya sebagai milknya. Sang Pencipta dan ciptaannya saling memiliki satu sama lain. Di saat orang lain bisa dengan mudahnya datang dan pergi, bahkan tanpa konsensus apapun dari  diri orang itu, Allah tetap selalu ada untuk kita: Dia tidak pernah pergi meninggalkan kita, bahkan saat Ia memiliki banyak urusan yang lain. Tidak seperti manusia yang tidak bisa membagi dirinya, Allah memiliki ciptaan yang tak terhingga, namun terus menerus mengurus makhluk-Nya. 

Dalam surat Al-Baqarah ayat 255, Allah berfirman

 "Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (mahlukNya)"

Allah memang menciptakan sebuah sistem yang disebut sunatullah, dan dunia berputar dan berjalan karena sunatullah yang telah diciptakan. Namun, aku percaya bahwa antara aku dan Allah memiliki koneksi pribadi yang hanya aku dan Allah yang bisa merasakannya. 

Kita tidak akan bisa menjadi milik siapapun, kita hanya berjalan sesuai dengan sunatullah. Karena beradab, kita mengenal istilah komitmen, norma, sopan santun, kasih sayang, dan cinta. Tapi kita tidak benar-benar memiliki orang lain, meskipun kita memiliki koneksi luar biasa, misalnya karena cinta dan komitmen, serta hubungan darah. Kita hanya berjalan bersama dengan mereka: berbagi rasa dan pikiran, saling mencukupi satu sama lain, terlebih sebagai makhluk sosial. 

What I think recently is about how having the ownership concept in our mind can be dangerous, sometimes. Kita akan rely on other people too much dan akan sangat dekat dengan perasaan kecewa jika orang yang kita sayangi terkadang tidak sesuai dengan ekspektasi kita. Bukan berarti mereka buruk, namun terkadang ada banyak situasi dan kondisi di mana kita tidak bisa berada di sisi mereka setiap saat, dan mereka tampak lebih fokus dengan hal yang lain yang mungkin lebih urgent dari kita. Tetapi dengan percaya bahwa konsep kepemilikan yang sesungguhnya itu mustahil, dan yang ada hanyalah konsep kepemilikan semu/palsu yang tidak abadi, kita bisa lebih ikhlas dan tawakkal dalam menjalani hidup: tentang apa yang datang dan pergi, tentang kondisi yang terkadang tidak sesuai dengan kehendak kita. 

Maka, lastly, but most importantly, kembalilah kepada Allah dan jangan terlalu menggantungkan diri pada manusia: cause they come and go. 

 

 




Komentar

Postingan Populer