Kelas 12 versus Maba (versi Imanda)
Ketika menilik kembali postinganku yang berjudul "Kelas XII Social 2" yang kutulis tahun lalu, sedikit banyak aku berpikir ulang mengenai adanya perbedaan konsepsi yang kubangun ketika aku berada di kelas 12 dan ketika aku telah menjadi mahasiswa.
Dulu, aku percaya bahwa menjadi mahasiswa adalah kebahagiaan yang benar-benar membahagiakan. I mean like, bisa pakai baju bebas setiap hari, masuk dengan jadwal yang beragam (not 6 per7 starts from 7 till 3), punya banyak kegiatan di luar yang asyik-asyik, serta adanya forum diskusi di kelas dengan dosen yang lebih ahli dalam bidang tertentu. Seminar-seminar di kuliah-kuliahpun asyik dan seru, banyak mahasiswa internasional yang biasa keluar-masuk kampus, dan lain sebagainya.
Tapi, tunggu dulu. Saat menjadi maba 2 semester di Jurusan Antropologi UGM, aku merasa bahwa konsepsi tentang bahagianya kuliah itu tidak 100% benar adanya.
Oke, mengenai poin pakai baju bebas dan jam kuliah yang tidak full day school itu benar adanya sih, tapi aku lupa, bahwa di perguruan tinggi, sudah bisa dikatakan bahwa kita adalah maha-nya siswa yang mau tidak mau harus tahan dengan seabreg aktivitas siswa pada umumnya, yakni mengerjakan tugas. Tugas yang diberikan oleh para Profesor maupun dosen yang lainnya, terkadang sungguh banyak bagiku. Pun, dengan adanya system yang "mandiri" itu kita benar-benar dituntut untuk mandiri jika menghendaki diri menjadi mahasiswa yang knowledgable. Dan untuk menjadi mahasiswanya yang knowledgable, kita harus melakukan hal lain yang menstimuli diri kita dengan lebih baik, selain baca buku atau jurnal. Hal lain itu adalah research social yang bisa dilakukan secara formal maupun informal bahkan nonformal. Ya, wajar saja sih sebenarnya bagi mahasiswa antropologi sepertiku untuk melakukan penelitian di dalam masyarakat. And this is actually not as easy as you think.
Setelah itu, kita harus mencurahkan segenap pemikiran kita untuk menganalisa "what is actually going on and what is the thing beyond that". However, sebagai mahasiswa ilmu-ilmu social humaniora, kita dituntut untuk bisa kritis ketika melihat berbagai macam fenomena yang ada di sekitar kita.
Jujur saja, semakin kesini ada yang hilang sedikit dari diriku, yakni kepekaanku untuk menilai fenomena-fenomena social yang ada. Saat SMA, aku merasa bergairah sekali dalam mengetahui berita-berita yang ada, ditambah dengan fenomena-fenomena lainnya yang tak kalah menarik untuk diulik, lalu aku sharing dengan teman-teman, dan melakukan analisa yang sifatnya spekulatif. Meskipun demikian, aku merasa otakku sedikit-banyak diasah untuk bisa peka terhadap permasalahan yang terjadi. Padahal, jika dilihat-lihat saat SMA, akses yang aku miliki tidak sebanyak ketika jadi mahasiswa. Aku tidak boleh membawa HP, laptop, dan alat elektronik lainnya. Salah satu sumber informasiku adalah koran yang ditempel di sekolah.
Kini aku sadar bahwa untuk menjadi orang yang knowledgable, sebenarnya kita tidak perlu menunggu saat kuliah. Yang paling penting adalah bagaimana semangat kita dalam memperoleh ilmu tersebut, apalagi untuk mengasah kepekaan social kita terhadap permasalahan yang ada di sekitar kita,
Ya, begitulah ceritaku. Kini, aku sedang membangun kembali semangat untuk 'peka' terhadap permasalahan di sekitarku. Jujur, mungkin untuk saat ini Imanda yang maba kalah dengan Imanda yang masih SMA. Betapa mirisnya. Tapi, bagaimanapun Imanda sekarang harus berusaha untuk lebih baik, oke?

Mana saya tahu, saya apatis
BalasHapusi have a big question to you, what the real purpose do on university ? study ? learning ? or just get some degree ?
BalasHapus