Jurusanmu Itu Rendahan (?)



“Jika kamu pintar, lebih baik kamu masuk jurusan kedokteran, atau teknik”
“Wah, kamu masuk jurusan X yang passing grade-nya tinggi ya, keren banget!”
“Yah, dia mah anak jurusan X ya pasti lebih keren sih dari kita-kita”
“Owalah, kamu urusan X ya? Yah, itu mah kayaknya gampang ya masuknya”
“Aku di univ A sih, tapi jurusan X”
Dlsb

Pernahkah kalian mendengar pernyataan-pernyataan diatas? Jika pernah, maka kalian mungkin merasakan adanya “perbedaan” jurusan-jurusan yang membuatku lelah berurusan dengan tanggapan orang-orang.

Dalam masyarakat kita, jurusan seolah-olah dijadikan sebagai patokan pintar dan tidaknya seseorang, keren dan biasa saja-nya seseorang, hebat atau standar-nya seseorang, dlsb.
Seseorang yang berasal dari jurusan kedokteran, teknik atau jurusan-jurusan dengan passing grade tinggi lainnya (karena banyak peminatnya) cenderung lebih terpandang dan prestigious dibanding jurusan-jurusan yang “dianggap” sepi peminat.

Sebenarnya aku sendiri masih penasaran mengapa ada klasifikasi jurusan “ramai peminat” dan “sepi peminat”. Apa penyebab adanya klasifikasi ini di masyarakat kita? Mungkin jawabannya adalah karena jurusan “prestigious” dan ramai peminat dianggap mampu menjadi jurusan yang akan membawa mereka kepada kesuksesan. Banyak orang ingin masuk jurusan bisnis atau akuntansi, mungkin karena prospek kerjanya yang tinggi dan banyak dibutuhkan di perusahaan-perusahaan. Jurusan ini menjadi dianggap lebih “berkelas” karena seolah-olah ketika kita mendapat gelar Sarjana Ekonomi, uang akan mudah mengalir setelah lulus.

Masyarakat kita sudah terdoktrin suatu paham, bahwa jurusan yang tidak menjanjikan adalah jurusan yang “rendah” dan kira-kira masa depannya tidak secerah mereka yang berasal dari jurusan yang “prestigious”. Hingga akhirnya terkadang ada yang merendahkan dan meremehkan suatu jurusan hanya karena jurusan-jurusan tersebut tidak tampak “menggiurkan” untuk urusan uang.

Masyarakat kita adalah masyarakat yang sangat esensialis. Apa yang dianggap normatif adalah apa yang diakui secara penuh. Menjadi seorang dokter adalah apa yang normatif dianggap “lebih”. Padahal, hal itu tidak sepenuhnya benar. Tapi, mungkin semua itu juga ada kaitannya dengan sejarah atau masa lalu masyarakat kita. Kita cenderung takut “jatuh” dan miskin, sehingga kita selalu berfokus pada apa yang terlihat “menjanjikan”, meskipun belum tentu menjanjikan.

Banyak orang tua yang berpendidikan tinggi dan kaya raya menganjurkan anaknya untuk menjadi sepertinya. Meski terkadang tidak sesuai dengan passion anaknya.
Namun, aku sangat terkesan dengan temanku. Ia berasal dari negara Skandinavia. Orangtuanya adalah insinyur, keluarganya sangat kaya hingga memiliki 2 rumah dalam satu kota. Dengan ceteknya pemahaman yang aku miliki, kukira ia juga akan bercita-cita seperti orangtuanya. Menjadi insinyur, dengan gaji yang menggiurkan sudah pasti menjadi salah satu referensi masa depannya. Namun ia dengan tegas menjawab bahwa ia ingin masuk jurusan seni. Ia tidak terlalu bagus dalam menggambar, dan ia ingin mempelajari teknik-teknik menggambar. Ia sangat passionate untuk belajar seni. Dan bahagianya, orang tuanya membolehkan ia untuk masuk ke jurusan seni.

Karena bagi mereka tidak ada jurusan yang terkesan lebih tinggi atau lebih rendah. Jurusan adalah apa yang kita ingin pelajari secara mendalam. Pekerjaan A tidak lebih rendah dari pekerjaan B ataupun C. Menjadi seorang dokter dan guru, sama-sama hebatnya. Menjadi seorang atlet dan technician, sama-sama kerennya. Menjadi seorang seniman atau ekonom, sama-sama berjasanya. Semua pekerjaan itu mulia, jika dikerjakan dengan baik dengan proses yang halal dan dibenarkan secara norma. Menghargai profesi orang lain adalah suatu kewajiban bagi kita.

Aku tidak bermaksud membanding-bandingkan untuk tujuan diskriminasi. Namun ada beberapa kebudayaan yang kita miliki yang membuatku merasa sedikit kurang nyaman. Judgment itu terkadang membuat seseorang tidak percaya diri dengan mimpinya. Bahkan parahnya, pertanyaan “kamu mau kerja apa?” bagi mereka yang berasal dari jurusan yang dianggap kurang “prestigious” tampak menjadi suatu ajang “meremehkan” yang akhirnya membuat kepercayaan diri mereka menurun karena seolah-olah tidak dihargai.


Jadi sebenarnya apa sih makna pekerjaan untukku pribadi? Pekerjaan adalah ikhtiar kita untuk mendapatkan sumber penghidupan. Dan uang atau rezeki adalah milik Tuhan. Selagi kita terus berikhtiar, berusaha mencari rezeki yang baik dan halal, Tuhan juga akan memberikannya bahkan dengan jumlah yang tidak teruga-duga. Lagipula, baiknya kita tidak bekerja untuk menumpuk uang saja, tapi juga untuk memperoleh kebahagiaan. Karena hidup untuk uang adalah hidup yang sangat menyengsarakan. Lakukanlah sesuatu untuk menjadi seseorang yang “bahagia” baik di dunia maupun di akhirat nanti. 


Inspired by Prof Irwan Abdullah (Guru Besar Antropologi FIB UGM) saat menyampaikan kuliahnya tentang kebudayaan masyarakat Indonesia yang cenderung esensialis.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer